Kamis, 07 Juni 2018

Akhlak Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN


A.           LATAR BELAKANG
Akhlak merupakan satu unsur yang di miliki oleh setiap manusia. Akhlak dapat memandu perjalanan hidup manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Tidaklah berlebihan bila misi utama kerosulan Nabi Muhamad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun mencatat bahwa  faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prina, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW di jadikan contoh dalam kehidupan di berbagai bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini di jamin keselamatan hidupnya di dunia dan di akhirat. Di dalam hadis di sebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah yang mempunyai akhlak yang bagus.
 
B.            RUMUSAN MASALAH

1. Mengetahui tentang Pertumbuhan Tasawuf
2. Mengetahui tentangg Perkembangan Tasawuf
3. Mengetahui pengertian Taswuf Sunni
4. Mengetahui pengertian Tasawuf Syi’i


BAB II
PEMBAHASAN

A.           PERTUMBUHAN TASAWUF
Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada, demikian pula dimasa para sahabat Nabi SAW dan tabi’in belum ada istilah tersebut. Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji masalah tasawuf yang sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama dalam islam dan siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini
Tasawuf  merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama, khususnya brahmana hinduisme, filsafat iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nasrani Awal, Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran islam melalui zindik majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab referensinya, dan telas diletakkan dasae-dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima hijriyah.
Tasawuf baru muncul pada masa sahabat dan tabi’in. Sebenarnya Nabi SAW dan para sahabat sudah sufi karena mereka selalu mempraktekan hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak pernah meremehkannya.
Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu. Ketika kekuasaan islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat, ketika itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke-2 Hijriyah. Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang kasyf al-dzunnun orang yang pertama kali diberi julukan al-sufi adalah Abu Hasyim Al-Sufi ( wafat. 150 H)
Pada prinsipnya, perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan, pertama periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabt, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah(185 H) dengan konsep cinta (Al-Hubb).
Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai rame membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti ma’rifat, faa’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj dan Imam Ghazali.
Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, sunni dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549 H), Ibnu Arabi (638 H), dan Ibnu Faridh (632 H).
Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya.
B.            PERKEMBANGAN TASWUF
Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A,. dalam bukunya intelektualisme tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan tasawuf dikalangan islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci dapat disebutkan sebagai berikut,
a.    periode pembentukan
pada abad I hijriyah bagian kedua, muncul Hasan Al-Bashri dengan ajaran khauf untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), dan mencela dunia (dzamm ad-dunya), seperti harta, keluarga dan kedudukan. Kemudian pada akhir abad II hijriyah, Hasan Al-Bashri diikuti oleh Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran mahabbah.
Selanjutnya pada abad II hijriyah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama dalam corak kezuhudan meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebih bersikap fiqh).
b.    Periode pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah, pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaan(ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalma kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu dengan-Nya (‘ainul al-jama’), seperti di ungkapkan Abu Yazid Al-Busthami (261 H). Ia adalah orang pertama yan menggunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Sesudah Abu Yazid Al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yaitu Al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori hulul (reinkarnasi Tuhan).
Pada akhir abad III, orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam pikirannya. Kemudian datanglah Junaidi Al-Baghdadi yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah (tarekat).
  Pada abad III dan IV Hijriah, terdapat dua aliran. Pertama, aliran tasawuf Sunni, yaitu bentuk taswuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingakatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf semi falsafi, yaitu para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyat) serta menolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).
c.    Periode konsolidasi
Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A,. tasawuf pada abad V hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada abad ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semiflsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian rupa. Sementara tasawuf semifalsafi tenggelam dan muncul kembali pada abad ke VI hijriyah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya teologi Ahl Assunah Wa Al-Jamaah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w.324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syata hiat nya yang diangap bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Tasawuf pada abd tersebut cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut annemarie schimmel merupadan periode konsolidasi, yaitu periode yang itandai pemantapan dan pengambilan tasawuf kelandasannya, Al-Qura dan sunnah. Tokoh-tokohnya adalah al-qusyairi(376-465 H), Al-Harawi(196 H), dan Al-Ghazali (450-505 H).
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V Hijriyah. Ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya, yaitu Al-Quran dan Hadist.
Ada dua hal yang dikritiknya, yaitu tentang syatahiyat yang dikemukakan oleh sufi semifalsafi dan cara berpakaian mereka yang menyerupai orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan metode pakaiannya. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah, lebih penting dari pada pakaian lahiriyah
d.   Priode falsafi
Pada abad ke VI hijrah tampillah taswuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, berkompromi dalam dalam pemakain term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Ibnu Khaldun dalam bukunya dalam bukunya, Muqaddimah, menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi mempunyai empat objek utama yang menurut Abu Al-Wafa’ dapat dijadikan karakter sufi Falsafi, yaitu Sebagai berikut.
1.      Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi yang timbul darinya
2.      Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gahaib
3.      Peristiwa-peristiwa dalam alam berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan
4.      Pemakain ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyat)
 Pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal-bakal tarekat sufi kenamaan. Hingga dewasa ini, pondok-pondok tersebut merpakan oase-oase di tengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah mereka berjaln dalam suatu kekerabtan para sufi yang tersebar luas, yang menyangkut seorang guru, dan menerapkan disiplin dan ritus yang lazim.
e.    priode pemurnian 
 Mulai muncul legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi, masa awam segera menyambut tipu muslihat itu sehingga yang terjadi bukanlah kebaktian sejati. Kemudian, tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khufarat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan , membentengi diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amanlan yang irasional, azimat, ramlan, dan kekuatan ghaib.
Bersamaan dengan itu mucullah Ibnu Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan wahdah al-wujud sebagai ajaran yang menuju pada kekafiran  (atheisme), meskipun keluar dari orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat), ahli tahqiq (ahli hakikat), ahli tauhid (orang yang mengesakan Tuhan).
Ibnu Taimiyah masih menoleransi ajaran fana, suatu tingkatan yang diperoleh orang yang ‘arif tatkala kesadrannya hilang, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Ibnu Taimiyah cendrung bertaswuf sebagimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW,
Ibnu Taimiyah cendrung bertaswuf sebagimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yaitu menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.

C.           TASWUF SUNNI
Taswuf Sunni ialah taswuf yang pengikut-pengikutnya memagari dengan  Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan Rohaniah mereka dengan keduanya
Berkembangnya Tasawuf Sunni ini tidak lepas dari aliran teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, karena keunggulan Abu Hasan Al-Asy’ari (w.324 H) atas aliran-aliran (teologi) lainnya.
Secara materiil, yang membedakan tasawuf Sunni dengan yang lainnya hannya dalam tingkatan maqamat menuju Al-Haq. Materi paham tasawuf Sunni tidak menunjikkan paham yang ekstrem sehingga produk materi yang dikembangkan tetap tidak melampaui secara ekstrem sehingga produk materi yang dikembangkan tetap tidak melampaui secara ekstrem petunjuk nash-nash agama.
Tasawuf Sunni terus berkembang sejak zaman klasik Islam hingga zaman modern. Taswuf ini serig di gandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
Adapun ciri-ciri taswuf Sunni antara lain sebagi berikut:
1.      Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan sunnah.
2.      Tidak menggunakan terminologi-teminologi filsafat.
3.      Lebih mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4.      Kesinambungan antara haqiqah dan syari’ah.
5.      Lebih berkonsentrasi pada soal pembinaan.

D.           TASWUF SYI’I
Taswuf Syi’i atau Syi’ah. Pembagian ini tas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganlisis kedekatan manusia dengan kaum Syi’ah, golongan yang dinisbahkan pengikut Ali bin Abi Thalib.
Menurut Sayyed Hosein Nasr, slah satu persoalan paling sulit yang menyentuh perwujudan taswuf dalam sejarah Islam adalah hubungannya dengan aliran Syi’ah. Kenyataan tentang aliran Syi’ah dan tasawuf sebagai suatu aspek yang terpadu dari wahyu keislaman jelas mengherankan apabila tidak diterangkan berdasrkan arguman kesejarahan yang tedensius.
Dalam sejarah perang shiffin orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan perisa, yaitu suatu dartan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran sejak imperium persia berjaya. Di daratan inilah kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa. Ketika itu didaratan Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemkiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam muqadimmah telah menyinggung soal kedekatan kaum telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham taswuf. Ibnu Khaldun melihat kedetan tasawuf Falsafi dengan sekte Isma’iliyyah. Sekte ini menyatakan terjadi hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususnya dalam puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma’iliyyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut berasal dari Imam Ali.



PENUTUP
A.           KESIMPULAN
sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase, yaitu: pertama, fase pembentukan yang terjadi pada awal abad I dan II dengan corak asketis dalam kehidupan, tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal atau lebih dikenal dengan istilah zuhud; kedua, fase pengembangan yang terjadi pada abad III dan IV dengan corak kefanaan, menjurus kepada kesatuan hamba dan khaliq; ketiga, fase konsolidasi yang terjadi pada abad V dan VI, yakni periode pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis; keempat, fase tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf; dan kelima, fase pemulihan dari bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini, ajaran tasawuf dikembalikan sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.

B.            SARAN
Mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan penulis dalam pembuatan makalah, maka dari itu kami selaku pemakalah sangat terbantu jika ada yang memberikan keritik serta sarannya, agar makalah yang di kerjakan menjadi lebih baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA
1.                  H.Badrudin, M.Ag. PENGANTAR ILMU TASAWUF.
2.                  Amin, Samsul Munir. ILMU TASWUF. Jakarta. Teruna Grafika. 2012.
3.                  Sulaiman, Umar. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TASWUF.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TES EPPS

BAB I PENDAHULUAN   1. Latar Belakang Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang bertujuan untuk mengukur kemampuan seseorang di ...