BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Akhlak merupakan satu unsur yang di miliki
oleh setiap manusia. Akhlak dapat memandu perjalanan hidup manusia agar selamat
di dunia dan di akhirat. Tidaklah berlebihan bila misi utama kerosulan Nabi
Muhamad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun mencatat
bahwa faktor pendukung keberhasilan
dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prina, hingga hal
ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman
kepada Allah diminta agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW di
jadikan contoh dalam kehidupan di berbagai bidang. Mereka yang mematuhi
permintaan ini di jamin keselamatan hidupnya di dunia dan di akhirat. Di dalam
hadis di sebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah yang mempunyai akhlak yang
bagus.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui tentang Pertumbuhan Tasawuf
2. Mengetahui tentangg Perkembangan Tasawuf
3. Mengetahui pengertian Taswuf Sunni
4. Mengetahui pengertian Tasawuf Syi’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERTUMBUHAN TASAWUF
Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada,
demikian pula dimasa para sahabat Nabi SAW dan tabi’in belum ada istilah
tersebut. Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji masalah tasawuf yang
sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama dalam islam dan
siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini
Tasawuf
merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir,
baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap
umat dan agama-agama, khususnya brahmana hinduisme, filsafat iluminasi Yunani,
Majusi Persia, dan Nasrani Awal, Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran
islam melalui zindik majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat
islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab
referensinya, dan telas diletakkan dasae-dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad
ke-empat dan kelima hijriyah.
Tasawuf baru muncul pada masa sahabat dan
tabi’in. Sebenarnya Nabi SAW dan para sahabat sudah sufi karena mereka selalu
mempraktekan hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak pernah meremehkannya.
Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam
bentuk perilaku tertentu. Ketika kekuasaan islam makin meluas dan terjadi
perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat, ketika itu pula
kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi
ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan
tasawuf sekitar abad ke-2 Hijriyah. Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan
tentang hakikat hidup. Menurut pengarang kasyf al-dzunnun orang yang pertama
kali diberi julukan al-sufi adalah Abu Hasyim Al-Sufi ( wafat. 150 H)
Pada prinsipnya, perkembangan tasawuf itu ada
tiga tahapan, pertama periode pembentukan dengan menonjolkan
gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama
abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabt, tabi’in, dan
tabi’it tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk
beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk
kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode
ini adalah Hasan Bashri (110 H) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah(185
H) dengan konsep cinta (Al-Hubb).
Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah
tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat
para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi
pekerti, mereka mulai rame membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta
hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti
ma’rifat, faa’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini
diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj dan Imam
Ghazali.
Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali
menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat
berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan
istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, sunni dengan
coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh
teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549 H), Ibnu Arabi (638 H), dan
Ibnu Faridh (632 H).
Jika dilacak secara cermat maka
praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal
yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya.
B.
PERKEMBANGAN TASWUF
Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A,.
dalam bukunya intelektualisme tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan
tasawuf dikalangan islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci dapat
disebutkan sebagai berikut,
a. periode pembentukan
pada abad I hijriyah bagian kedua, muncul
Hasan Al-Bashri dengan ajaran khauf untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Dalam
ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’),
menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), dan mencela dunia (dzamm
ad-dunya), seperti harta, keluarga dan kedudukan. Kemudian pada akhir abad II
hijriyah, Hasan Al-Bashri diikuti oleh Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita
yang terkenal dengan ajaran mahabbah.
Selanjutnya pada abad II hijriyah, tasawuf
tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama dalam corak kezuhudan
meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah adanya kenyataan
pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebih bersikap
fiqh).
b. Periode pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah, pada
abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaan(ekstase) yang menjurus ke persatuan
hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalma
kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub),
kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah),
bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu dengan-Nya (‘ainul al-jama’),
seperti di ungkapkan Abu Yazid Al-Busthami (261 H). Ia adalah orang pertama yan
menggunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang
sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Sesudah Abu Yazid Al-Busthami, lahirlah
seorang sufi kenamaan, yaitu Al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori hulul
(reinkarnasi Tuhan).
Pada akhir abad III, orang berlomba-lomba pula
menyatakan dan mempertajam pikirannya. Kemudian datanglah Junaidi Al-Baghdadi
yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah (tarekat).
Pada abad III dan IV Hijriah, terdapat dua
aliran. Pertama, aliran tasawuf Sunni, yaitu bentuk taswuf yang memagari
dirinya dengan Al-Qur'an dan hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingakatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut.
Kedua, aliran tasawuf semi falsafi, yaitu para pengikutnya cenderung pada
ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyat) serta menolak dari keadaan fana menuju
pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).
c. Periode konsolidasi
Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A,.
tasawuf pada abad V hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada abad ini ditandai
kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semiflsafi dengan tasawuf sunni.
Tasawuf sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian rupa.
Sementara tasawuf semifalsafi tenggelam dan muncul kembali pada abad ke VI
hijriyah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan
menangnya teologi Ahl Assunah Wa Al-Jamaah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (w.324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid
Al-Busthami dan Al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syata hiat nya yang
diangap bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Tasawuf pada abd tersebut
cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut annemarie schimmel merupadan
periode konsolidasi, yaitu periode yang itandai pemantapan dan pengambilan
tasawuf kelandasannya, Al-Qura dan sunnah. Tokoh-tokohnya adalah
al-qusyairi(376-465 H), Al-Harawi(196 H), dan Al-Ghazali (450-505 H).
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi
utama abad V Hijriyah. Ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya,
yaitu Al-Quran dan Hadist.
Ada dua hal yang dikritiknya, yaitu tentang
syatahiyat yang dikemukakan oleh sufi semifalsafi dan cara berpakaian mereka
yang menyerupai orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama
bertentangan dengan metode pakaiannya. Ia menekankan bahwa kesehatan batin
dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah, lebih penting dari pada
pakaian lahiriyah
d. Priode falsafi
Pada abad ke VI hijrah tampillah taswuf
falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, berkompromi dalam
dalam pemakain term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Ibnu Khaldun dalam bukunya dalam bukunya, Muqaddimah,
menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi mempunyai empat objek utama yang menurut Abu
Al-Wafa’ dapat dijadikan karakter sufi Falsafi, yaitu Sebagai berikut.
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi yang timbul
darinya
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gahaib
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluar biasaan
Pada
abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal-bakal tarekat sufi
kenamaan. Hingga dewasa ini, pondok-pondok tersebut merpakan oase-oase di
tengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah mereka berjaln dalam
suatu kekerabtan para sufi yang tersebar luas, yang menyangkut seorang guru,
dan menerapkan disiplin dan ritus yang lazim.
e. priode pemurnian
Mulai
muncul legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi,
masa awam segera menyambut tipu muslihat itu sehingga yang terjadi bukanlah
kebaktian sejati. Kemudian, tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khufarat, mengabaikan
syariat dan hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan ,
membentengi diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas,
dengan menampilkan amanlan yang irasional, azimat, ramlan, dan kekuatan ghaib.
Bersamaan dengan itu mucullah Ibnu Taimiyah
yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan wahdah
al-wujud sebagai ajaran yang menuju pada kekafiran (atheisme), meskipun keluar dari orang-orang
yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat), ahli tahqiq
(ahli hakikat), ahli tauhid (orang yang mengesakan Tuhan).
Ibnu Taimiyah masih menoleransi ajaran fana,
suatu tingkatan yang diperoleh orang yang ‘arif tatkala kesadrannya hilang,
baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Ibnu Taimiyah cendrung bertaswuf sebagimana
yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW,
Ibnu Taimiyah cendrung bertaswuf sebagimana
yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yaitu menjelaskan dan menghayati
ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu
dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada
umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti
sekarang.
C.
TASWUF SUNNI
Taswuf Sunni ialah taswuf yang
pengikut-pengikutnya memagari dengan
Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan Rohaniah
mereka dengan keduanya
Berkembangnya Tasawuf Sunni ini tidak lepas
dari aliran teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, karena keunggulan Abu Hasan
Al-Asy’ari (w.324 H) atas aliran-aliran (teologi) lainnya.
Secara materiil, yang membedakan tasawuf Sunni
dengan yang lainnya hannya dalam tingkatan maqamat menuju Al-Haq. Materi paham
tasawuf Sunni tidak menunjikkan paham yang ekstrem sehingga produk materi yang
dikembangkan tetap tidak melampaui secara ekstrem sehingga produk materi yang
dikembangkan tetap tidak melampaui secara ekstrem petunjuk nash-nash agama.
Tasawuf Sunni terus berkembang sejak zaman
klasik Islam hingga zaman modern. Taswuf ini serig di gandrungi orang karena
penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
Adapun ciri-ciri taswuf Sunni antara lain
sebagi berikut:
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan sunnah.
2. Tidak menggunakan terminologi-teminologi filsafat.
3. Lebih mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4. Kesinambungan antara haqiqah dan syari’ah.
5. Lebih berkonsentrasi pada soal pembinaan.
D.
TASWUF SYI’I
Taswuf Syi’i atau Syi’ah. Pembagian ini tas
ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganlisis kedekatan manusia dengan kaum
Syi’ah, golongan yang dinisbahkan pengikut Ali bin Abi Thalib.
Menurut Sayyed Hosein Nasr, slah satu
persoalan paling sulit yang menyentuh perwujudan taswuf dalam sejarah Islam
adalah hubungannya dengan aliran Syi’ah. Kenyataan tentang aliran Syi’ah dan
tasawuf sebagai suatu aspek yang terpadu dari wahyu keislaman jelas
mengherankan apabila tidak diterangkan berdasrkan arguman kesejarahan yang
tedensius.
Dalam sejarah perang shiffin orang-orang
pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan perisa,
yaitu suatu dartan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran sejak
imperium persia berjaya. Di daratan inilah kontak budaya antara Islam dan
Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa. Ketika itu didaratan
Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemkiran-pemikiran kefilsafatan
juga sudah berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu perkembangan tasawuf Syi’i
dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran
filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam muqadimmah telah menyinggung soal
kedekatan kaum telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham
taswuf. Ibnu Khaldun melihat kedetan tasawuf Falsafi dengan sekte Isma’iliyyah.
Sekte ini menyatakan terjadi hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya,
kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususnya dalam puncaknya kaum ‘arifin,
sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin
seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma’iliyyah tentang imam dan para
wakil. Begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut berasal dari
Imam Ali.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima
fase, yaitu: pertama, fase pembentukan yang terjadi pada awal abad I dan II
dengan corak asketis dalam kehidupan, tidak mementingkan makanan, pakaian
maupun tempat tinggal atau lebih dikenal dengan istilah zuhud; kedua, fase
pengembangan yang terjadi pada abad III dan IV dengan corak kefanaan, menjurus
kepada kesatuan hamba dan khaliq; ketiga, fase konsolidasi yang terjadi pada
abad V dan VI, yakni periode pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan
al-Qur’an dan Hadis; keempat, fase tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf; dan kelima, fase pemulihan dari
bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan terhadap ilmu
pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini, ajaran
tasawuf dikembalikan sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni
menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap
melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.
B.
SARAN
Mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan
penulis dalam pembuatan makalah, maka dari itu kami selaku pemakalah sangat
terbantu jika ada yang memberikan keritik serta sarannya, agar makalah yang di
kerjakan menjadi lebih baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
1.
H.Badrudin, M.Ag. PENGANTAR ILMU TASAWUF.
2.
Amin, Samsul Munir. ILMU TASWUF.
Jakarta. Teruna Grafika. 2012.
3.
Sulaiman, Umar. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN TASWUF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar